Monday. Tuesday. Wednesday. Thursday. Friday. Saturday. Monday.
It’s everyday.
Setiap hari tersebut selalu saja kita lewati. Oh ya, sedikit terlupa. Mungkin kita belum menyusun dari yang kecil terlebih dahulu. Baiklah.
Sepermilidetik. Seperdetik. Detik. Menit. Jam …. Bla bla bla.
Detik demi detik terus meninggalkan kita, meninggalkan jejak-jejak kehidupan yang ada. Entah itu dihiasi keindahan di setiap tapaknya sehingga menimbulkan kenangan tak terlupakan di kemudian hari, ataukah hanya jejak kepongahan yang tidak penting, misalnya dengan ekspresi seperti ini
“ hah, sekarang udah hari senin lagi ? perasaan hari minggu nya bentar banget ! “
Atau ekspresi yang lain sebagainya, yang tidak akan pernah membuat waktu terulang dan berbaik hati mempersilahkan kita mengulang kembali. Waktu tak pernah tahu cara berhenti, yang jelas ia terus berjalan. Kita mungkin bisa melihat jam dinding kita di rumah mati, ya, itupun karena kehabisan baterai. Tapi, sayangnya waktu itu “bukan” jam dinding.
Disinilah, kita sebagai makhluk berakal, atau lebih tegasnya, satu-satunya makhluk yang dikaruniai akal, wajib mentafakkuri apa pentingnya waktu. Entahlah, sampai kapan kita “diakali” oleh metafora waktu, dibuai oleh sajak-sajak personifikasi berupa buaian-buaian indah yang melenakan kita untuk “membuang-buang” waktu. Sayangnya, tanpa membuang waktu pun, waktu selalu berjalan, bukan ?
Seberapa sering kita mengatakan, “ah, nanti saja”,”ah, besok saja”, “bentar bentar, tunggu lima menit …” dan seterusnya. Kita seperti masuk ke alam waktu yang unlimited, yang dibuat oleh pikiran kita sendiri, padahal kita sudah belajar ilmu fisika sejak SD, hingga kita menemukan hukum kausalitas, bahwa segala sesuatu yang berpemulaan pasti akan berakhir. ada sebab, ada akibat. Namun hati-hati, sangat kontras jika kita berbicara mengenai sifat-sifat tuhan, yang telah ada sebelum waktu itu ada. Waktu adalah ciptaan tuhan itu sendiri.
Berakhir ?
Ya jelas, pasti akan berakhir. Kematian kita pada saat penciptaan pertama pun berakhir dengan lahirnya kita ke dunia, memasuki zona waktu dunia yang mulai dihitung sebagai kehidupan pertama, sebagai shiraat menuju alam kematian kita yang kedua. Setelah itu, sampailah kita pengadilan Mahatinggi yang mengantarkan kita kepada kehidupan kedua yang abadi nan kekal.
Tapi, ada yang patut digarisbawahi, yaitu tak ada yang tahu, kapan waktu berakhir. Tak ada yang dapat memastikan, meskipun ada yang berlagak dengan sombongnya mengatakan waktu berakhir pada jam anu, hari anu, tanggal anu, bulan anu, tahun anu. Kenyataannya, memang terjadi ! tapi dialah yang berakhir, bukan waktu yang berakhir. Atau bisa dikatakan, dia mati duluan sebelum waktu itu “mati”.
Beberapa orang pintar mungkin bisa menerjemahkan sedikit dari sekian banyak sunnatullah di alam, bahwa kapan waktu berakhir. Ada yang mengukur dengan umur matahari, ada yang mengukur dengan medan gravitasi antar planet, ada yang mengukur dengan usia bumi, dan sebagainya. tapi, tak ada satupun yang dapat memastikan, bukan ?
Tapi bisa dikatakan cukup bagus lah, bahwa ada orang yang mau mencari tahu bahwa kapan waktu yang berakhir, dibandingkan dengan orang yang “tidak mau tahu” kapan waktu berakhir. Iya kan ?
Apakah orang yang “tidak mau tahu” itu kita? bukankah kita sering menyepelekan waktu ? sering menunda waktu ? sering tak memaksimalkan waktu ?
Atau, bukankah kita ini adalah orang yang termasuk termakan metafora waktu, yang menyatakan bahwa “MASIH ADA ESOK HARI !” ? bayangkan saja, siapakah yang berani menyatakan, “APAKAH ESOK HARI MASIH ADA ?” ? terbetik pertanyaan yang kita sendiri tidak bisa menjawab, yang ada hanyalah lidah yang kelu.
Teman,
Sekarang saya anjurkan,
TEPUK PIPI ANDA !
TEPUK PIPI ANDA !
LAGI !
TEPUK PIPI ANDA !
Sakit ?
Alhamdulillah. Berarti, waktu anda belum usai. Waktu saya pun belum usai.
Apa yang mesti kita ambil pelajaran ?
Lakukanlah yang mesti kita lakukan sekarang ! bukan berarti melakukan segala sesuatu sekarang juga, akan tetapi lakukan sesuatu yang mesti dilakukan sekarang !
Lakukanlah. Lakukanlah. Lakukanlah.
Waktu yang akan menjadi saksi. Cepatlah, jangan menunda lagi.
Sebelum nafas kita berhenti, dan waktu akan “mati” ……………
0 komentar:
Posting Komentar