27 November.
Aku terkesiap ketika guntur itu hampir memecahkan gendang
telingaku, belum sempat aku menghardik, dia telah mengulang sekali lagi, dan
akupun takluk. Seketika itu juga, berderailah rintik kecil di langit
sebagaimana di awal bulan November ini. Segalanya berwarna abu-abu, seakan
benar benar mengerti kondisi jiwaku.
Aku baru saja hendak membenarkan letak diktat kuliah yang
bertumpuk, ketika kalender usang itu seakan-akan memanggilku. Ah ya, aku sudah
lama belum mencabik kertas kalender bulan September ini karena aku sangat betah
berlama-lama melihat gambarnya, yaitu Zinedine Zidane idolaku. Tapi itu bisa
saja tidak, Andaikan saja Nabi Muhammad SAW, lelaki terhebat sepanjang zaman itu bisa dilukis, tentu sudah
aku pasangkan gambarnya di langit-langit kamarku yang paling tinggi sebagai
idola terhebat.
Tapi, tunggu dulu. Apa maksud lingkaran merah ini. Tanggal 27
November. Aku sedikit berputar-putar menggali kembali
memoriku, apa maksud dari lingkaran merah ini. Seketika itu, bersamaan dengan
datangnya guntur, hatikupun terkejut. Aku merasa sedikit abnormal kala potongan
memoar lama itu kembali mendesau-desau dalam kepalaku.
Kala aku meninjau keluar, rinai hujan itu seakan memberikan
aura yang membuatku rindu. Gumpalan awan yang mematung pilu di ujung sana,
seakan benar-benar memberikan sebuah abstraksi, betapa hatiku rindu dengan
seseorang yang jauh sana. Kutunggu pula datangnya pelangi, sang adiwarna, agar
dapat pula menghibur hati yang gundah ini, namun telah lama, ia tak kunjung
datang.
Kutilik-tilik lagi tanggal berlingkar merah itu. Itulah hari
ulang tahun orang yang dulu pernah aku sayangi. Wahai, betapalah masygul hati
ini dibuatnya. Melayang layang anganku, mencoba membuka tabir masa lalu,
mengingat jejak-jejak yang dulu pernah kututup dan kukunci rapat-rapat, setelah
aku mulai benar-benar mengatakan bisa untuk mengatakan yang mana “ya” dan yang
mana “tidak”.
Entahlah aku pun tak sadar, tiba tiba waktu terus saja
berputar, aku seperti masuk pada lubang hitam yang memutar-mutar otakku sekaligus
mengubek-ubek perasaanku. Lagi-lagi, sesuatu yang bernama rindu telah
mulai melakukan agresinya pada hatiku yang sudah lama berdaulat penuh untuk
tidak merindukan seseorang, tepatnya wanita.
Almamater biru gelapku yang berlogo gajah duduk, diktatku
yang tebal berwara-wiri di sekitar desktop,
dinding usang yang lecet-lecet karena tempelan deadline tugas dan meeting-ku
selama sebulan seakan-akan bisu, tidak bisa lagi menarik kembali perhatianku,
setelah mati kutu dibom oleh virus rindu yang kini mulai menyebar, melemahkan
syaraf-syaraf testosteron ego lelakiku.
***
“Assalamualaikum. Salam kenal. Saya Farid Alhafid. Nama kamu
siapa ?”
Itu kata pertamaku di hari itu, pada awal pembukaan MOS
(Masa Orientasi Siswa) di SMA, Juli 2009. Aku cukup tertarik dengan perempuan
ini, karena dandanannya begitu matching,
meskupun kakak kelas kami –para panitia, dengan begitu serampangan memberi “akomodasi” kepada kami sang adik kelas baru,
mengenai tata busana yang wajib dikenakan selama masa “penyiksaan” itu.
Meskipun sebenarnya tidak mendidik, tapi kami penuhi juga syarat-syarat itu.
Lagipula, bukankah lebih menarik dan lucu jika memang semua menggunakan baju
dan dandanan yang nyeleneh, asalkan
sistem “penyiksaan” seperti damprat,
kepret, jitak, dan saudara sebangsanya dalam masa orientasi ini dihapuskan.
Aku sendiri sebagai seorang pria, ehm, maksudku lelaki,
wajib menggunakan busana yang dikenakan perempuan. Begitupula kebalikannya
untuk perempuan wajib berdandan lebih macho, atau malah bisa dibilang
eksentrik. Dasar panitia dodol,
mereka mungkin sudah menyiapkan konspirasi busuk ini selama kami liburan
kemarin, sehingga sehari sebelum MOS, kami pun diundang ke sekolah untuk
menyiapkan syarat-syarat itu.
Cukup banyak, memusingkan dan juga membuat aku malu setengah
mati ketika berhadapan dengan kasir di toko seberang rumah tempo hari. Hampir
semua yang aku beli berbau perempuan, dimulai dari sandal jepit pink, pita
pink, sebuah lipstick Glory pink,
bedak bayi berwarna pink bercap Anak Mama,
hampir segalanya berwarna pink. Kasir gembul ini cekikikan karena sangsi,
melihat tampang sesangar ini kok malah beli perlengkapan perempuan.
Malam harinya aku sibuk menggunting kertas karton pink untuk
membuat name tag berukuran sama dengan Al-Qur’an bibiku, bersusah payah untuk
membentuk jalinan pita pink yang harus membentuk bentuk bunga mawar, untuk
dipakai ketika sampai di gerbang tiba, dan baru dicopot ketika pulang. Dan
masih banyak pula aksesoris lain yang membuatku lebih mirip badut Taman Mini
daripada pelajar SMA. Oh iya, aku harus mengingatkan bibiku untuk memesan kue
bakpao yang sering lewat di pagi hari untuk bekal esok hari, sebagai syaratnya.
Tapi, yang jadi masalah, kue bakpao yang dijual itu berwarna putih, nah
sedangkan aku harus membawa yang berwarna pink ! lalu, bagaimana aku
menyulapnya ? Oh Tuhan.
“Nama saya Latifah Meida Ayunda. Panggil saja Latifah. Salam
kenal juga Farid”
Aku berdesir mendengar ketika namanya dihembuskan. Indah
sekali dan enak dilafalkan. Entah apa
yang dilakukan ayahnya ketika memberi nama anaknya ini, barangkali harus
membuka-buka kamus syair para pujangga. Dan berhasil, nama ini seakan membuai
diriku melayang ketika syair pujangga itu berakhir. Alah, terlalu berlebihan.
Tapi sebenarnya yang yang membuatku tertarik adalah paduan
bentuk pita yang menjalin di atas kerudungnya, malah membuatnya tampak manis.
Dari kerudung putih anggun itu, seakan membungkus wajah mutiara berbinar yang
menarik. Aku sangat suka wanita berjilbab, karena menurut feel ku saja, tidak bisa dijelaskan. Nama tag nya yang berwarna
merah hati disertai satu potong foto hitam-putihnya ketika masih SMP, membuat
manis penampilannya. Walaupun MOS ini terlalu berlebihan, karena semua wajib
menggunakan kaus kaki yang belang-belang serta berbeda warnanya, termasuk aku,
dia tampak tak terpengaruh. Ya, karena dia menggunakan rok panjang, sehingga
tidak kelihatan. Paduan segalanya membuatnya anggun, meskipun sedikit
imut-imut.
“Dari SMP mana ?” tanyaku.
“13” katanya singkat.
“Oh.”
Dia sepertinya tak ingin lebih jauh dan lebih lama
berbincang denganku, mungkin karena mata kakak panitia mengintai dari jauh kami
berdua. Ia langsung membertulkan letak kursi
goyang nya, atau lebih tepatnya potongan kertas karton yang dibuat
sedemikian rupa, untuk alas duduk selama di aula. Kami pun langsung melongok
dan mendengarkan arahan kakak panitia nun jauh di depan sana.
***
Tiba-tiba, dari handphoneku ada sms singkat.
“Farid, kuliah jam 3. Cepet. Dosen killer. Aku tunggu di depan tugu”
Oh God. Aku lupa, kalau sekarang ada jadwal kuliah
keteknikan. Tak sadarkan diri, aku sudah satu jam melamun, dan hujan pun telah
reda. Kulirik jamku, sudah jam setengah tiga. Aku harus bergegas. Diktatku
seolah tersenyum ketika aku menggamitnya kembali. Tas kurangkul, dan sepatu kets-ku
telah siap take off.
***
0 komentar:
Posting Komentar