“Faaariiid !”
Seseorang sedari tadi memanggilku, makin lama suaranya makin
keras. Aku malas menjawab, mulutku seakan tidur lemas. Tapi seseorang ini tak
mau kalah. Invasi-nya dengan menggedor-gedor pintu kamarku membuat aku
kehilangan kendali, antara menyerah atau tidak. Lagi-lagi aku hanya membalas
dengan diam. Perang ini sengit, batinku.
“Faaarid, cepat keluar !”
Kata bernada tegas barusan seakan-akan sebuah ultimatum yang
sangat tidak kunanti. Peperangan ini cukup alot sehingga membuat hatiku ketar
ketir. Tak main main, yang menjadi lawanku adalah : ayahku sendiri. Aku pikir,
suasana sudah mulai mereda dengan tidak ada lagi teriakan Ayah. Tapi, insting
bertahanku mengatakan lain, sepertinya ini sudah sangat akut. Tiba-tiba
sekelebat pikiranku mengatakan, bisa jadi beberapa detik kemudian, Ayah akan
menjebol kamarku ! lebih baik kuayunkan “bendera putih” lalu selamat,
dibandingkan dengan terperangah basah ketika ditangkap lalu mati dengan hina.
Cis, sudahlah. Lagipula aku bukan seseorang yang berjiwa patriot, kawan.
“Iya … Iyaa …” Jawabku datar, menyudahi segalanya dengan flat sepertinya merupakan jalan terbaik.
“Aduh Farid, kenapa baru keluar ? Ibu khawatir sekali, nak”
Aku hanya terhaha-hehe
kecil menjawab ibuku. Ini dia faktor X kesekian, yang membuat aku merasa tidak
berdaya. Jelas, aku tak berani melawan ibu. meskipun aku tau, aku juga punya
hak untuk menolak dan memberi penjelasan, tapi …….
Ah sudahlah, baiknya kuceritakan saja.
Beberapa hari ini aku terlarut dalam euphoria kelulusan SMP.
Hari ujian telah terlewati. Tak ada buku tebal yang menumpuk di meja belajarku,
begitupun buku kumpulan soal beserta pembahasannya tinggal tergeletak dan mati
lemas, karena sudah diikat dengan tali rapia oleh ayahku, siap untuk diloak.
Aku lulus dengan sempurna, meskipun sebenarnya hanya
beberapa digit diatas garis limit. Aku yang ngos-ngosan di pelajaran Matematika
harus bekerja ekstra keras. Udara dingin dini-hari kuterpa, demi menghapal dan
mengulang-ulang materi, dan udara pengap sore hari kutembus juga, demi mengikuti
bimbingan belajar. Sekarang, semua terbayar lunas, tapi satu hal, aku masih
alpa akan tujuanku mendatang. Mau kemana aku.
Aku bukanlah tipe anak norak –meskipun aku tinggal di
pinggiran kota-, yang ketika lulus, berjingkrak-jingkrak seperti orang gila di
pinggir jalan, mencoret coret bajunya dengan pilox -seperti seorang bomber yang
ingin mengekspresikan dirinya lewat graffiti-, lalu menderung-derungkan sepeda
motor di sepanjang jalan. Kuakui, aku saja geleng-geleng melihat perangai
mereka, apalagi orang tuanya sendiri. Actually,
aku lebih memilih mengekspresikan diriku lewat situs jejaring sosial yang waktu
itu sedang nge-pop, Friendster. Yah lumayan juga, sebagai ajang pengekspresian
diri yang aman dan nyaman pula.
Setelah beberapa hari kemudian, aku masih berleha-leha saja
dirumah, seperti sedang menikmati libur panjang. Tontonanku ? ah, masih seperti
biasa, Tom and Jerry dan Detective Conan. Kadang aku muak ketika Ayahku
memindahkan channel ke liputan berita, bisa jadi karena aku tidak mengerti diksinya
yang bermakna tinggi. Lagipula, menonton liputan berita zaman sekarang ini
haruslah up to date, karena liputan berita juga seakan akan mirip sinetron,
yang setiap hari beda episode dan berlarut-larut. Jika tidak mengikuti kasus
yang ditampilkan sejak awal, maka jelas kita tidak akan mengerti alur
ceritanya.
Sampai pada tadi malam, aku mendengar pembicaraan kedua
orang tuaku lewat sempilan kecil pintu kamarnya. Suara yang kudengar
krasak-krusuk tidak jelas, nada-nadanya seperti menimbulkan pertentangan. Kupikir,
inilah dia yang namanya asam-garam berumah tangga, setiap harinya tidaklah
selalu bercocok paham satu dan yang lain. Tapi lebih jauh kudengar, sepertinya
menarik. Aku mendengar sekelebat kata, “bibi”, “pindah”, “tidak terlalu jauh”,
“Bandung”. Apa ini, pikirku.
“Farid harus kita sekolahkan di Bandung. Disini ia terlalu
manja” Ayahku berujar.
“Tapi kenapa harus di Bandung ? Bukankah di Semarang ini
juga bagus ?” sengit Ibuku.
“Tidak. Dia manja.
Lihat kedua kakaknya. Yang satu sudah melanglang ke Pekanbaru, yang satu lagi
ada di Pontianak. Semuanya sukses karena cara yang sama.”
Ibuku tertunduk dan hanya diam. Aku menelan ludah. Aku akan
sekolah di Bandung ? Oh tidak. Tidak. Tidak !
“Coba Ayah pikirkan baik-baik. Jangan sampai kita menyesal
nantinya” ujar ibu pelan.
“Menyesal ? tidak mungkin. Karena kenyataannya,
kakak-kakanya juga berhasil, toh ?”
Ketika Ayah melihat ke arah pintu, aku tak kuasa membalikkan
wajahku yang terlanjur menyempil didaun pintu, sehingga ia mendelik kepadaku
dengan terkejut. Mungkin ini rahasia, pikirnya. Belum sempat ayah memanggil,
dalam sekejap aku sudah di markas besarku, dan langsung merebahkan diri ke
peraduan.
Apa maksudnya ini, pikirku. Benarkah aku akan disekolahkan
di Bandung ? kenapa harus jauh-jauh ?
Bukankah di Semarang ini banyak SMA yang bagus ? aku semakin
tak mengerti.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul Sembilan malam. Aku semakin
gelisah, sedari tadi hanya bergulang-guling saja tidak bisa tidur. Tiba tiba
aku teringat pada masa itu… Ya Tuhan, benarkah ini akan terjadi ?
***
Do not copy this one.
Foto Sumber :
0 komentar:
Posting Komentar