• Selamat Datang !

    Jump In Love (2)



    “Faaariiid !”

    Seseorang sedari tadi memanggilku, makin lama suaranya makin keras. Aku malas menjawab, mulutku seakan tidur lemas. Tapi seseorang ini tak mau kalah. Invasi-nya dengan menggedor-gedor pintu kamarku membuat aku kehilangan kendali, antara menyerah atau tidak. Lagi-lagi aku hanya membalas dengan diam. Perang ini sengit, batinku.

    “Faaarid, cepat keluar !”

    Kata bernada tegas barusan seakan-akan sebuah ultimatum yang sangat tidak kunanti. Peperangan ini cukup alot sehingga membuat hatiku ketar ketir. Tak main main, yang menjadi lawanku adalah : ayahku sendiri. Aku pikir, suasana sudah mulai mereda dengan tidak ada lagi teriakan Ayah. Tapi, insting bertahanku mengatakan lain, sepertinya ini sudah sangat akut. Tiba-tiba sekelebat pikiranku mengatakan, bisa jadi beberapa detik kemudian, Ayah akan menjebol kamarku ! lebih baik kuayunkan “bendera putih” lalu selamat, dibandingkan dengan terperangah basah ketika ditangkap lalu mati dengan hina. Cis, sudahlah. Lagipula aku bukan seseorang yang berjiwa patriot, kawan.

    “Iya … Iyaa …” Jawabku datar, menyudahi segalanya dengan flat sepertinya merupakan jalan terbaik.

    “Aduh Farid, kenapa baru keluar ? Ibu khawatir sekali, nak”

    Aku hanya terhaha-hehe kecil menjawab ibuku. Ini dia faktor X kesekian, yang membuat aku merasa tidak berdaya. Jelas, aku tak berani melawan ibu. meskipun aku tau, aku juga punya hak untuk menolak dan memberi penjelasan, tapi …….

    Ah sudahlah, baiknya kuceritakan saja.

    Beberapa hari ini aku terlarut dalam euphoria kelulusan SMP. Hari ujian telah terlewati. Tak ada buku tebal yang menumpuk di meja belajarku, begitupun buku kumpulan soal beserta pembahasannya tinggal tergeletak dan mati lemas, karena sudah diikat dengan tali rapia oleh ayahku, siap untuk diloak.

    Aku lulus dengan sempurna, meskipun sebenarnya hanya beberapa digit diatas garis limit. Aku yang ngos-ngosan di pelajaran Matematika harus bekerja ekstra keras. Udara dingin dini-hari kuterpa, demi menghapal dan mengulang-ulang materi, dan udara pengap sore hari kutembus juga, demi mengikuti bimbingan belajar. Sekarang, semua terbayar lunas, tapi satu hal, aku masih alpa akan tujuanku mendatang. Mau kemana aku.

    Aku bukanlah tipe anak norak –meskipun aku tinggal di pinggiran kota-, yang ketika lulus, berjingkrak-jingkrak seperti orang gila di pinggir jalan, mencoret coret bajunya dengan pilox -seperti seorang bomber yang ingin mengekspresikan dirinya lewat graffiti-, lalu menderung-derungkan sepeda motor di sepanjang jalan. Kuakui, aku saja geleng-geleng melihat perangai mereka, apalagi orang tuanya sendiri. Actually, aku lebih memilih mengekspresikan diriku lewat situs jejaring sosial yang waktu itu sedang nge-pop, Friendster. Yah lumayan juga, sebagai ajang pengekspresian diri yang aman dan nyaman pula.

    Setelah beberapa hari kemudian, aku masih berleha-leha saja dirumah, seperti sedang menikmati libur panjang. Tontonanku ? ah, masih seperti biasa, Tom and Jerry dan Detective Conan. Kadang aku muak ketika Ayahku memindahkan channel ke liputan berita, bisa jadi karena aku tidak mengerti diksinya yang bermakna tinggi. Lagipula, menonton liputan berita zaman sekarang ini haruslah up to date, karena liputan berita juga seakan akan mirip sinetron, yang setiap hari beda episode dan berlarut-larut. Jika tidak mengikuti kasus yang ditampilkan sejak awal, maka jelas kita tidak akan mengerti alur ceritanya.

    Sampai pada tadi malam, aku mendengar pembicaraan kedua orang tuaku lewat sempilan kecil pintu kamarnya. Suara yang kudengar krasak-krusuk tidak jelas, nada-nadanya seperti menimbulkan pertentangan. Kupikir, inilah dia yang namanya asam-garam berumah tangga, setiap harinya tidaklah selalu bercocok paham satu dan yang lain. Tapi lebih jauh kudengar, sepertinya menarik. Aku mendengar sekelebat kata, “bibi”, “pindah”, “tidak terlalu jauh”, “Bandung”. Apa ini, pikirku.

    “Farid harus kita sekolahkan di Bandung. Disini ia terlalu manja” Ayahku berujar.

    “Tapi kenapa harus di Bandung ? Bukankah di Semarang ini juga bagus ?” sengit Ibuku.

     “Tidak. Dia manja. Lihat kedua kakaknya. Yang satu sudah melanglang ke Pekanbaru, yang satu lagi ada di Pontianak. Semuanya sukses karena cara yang sama.”

    Ibuku tertunduk dan hanya diam. Aku menelan ludah. Aku akan sekolah di Bandung ? Oh tidak. Tidak. Tidak !

    “Coba Ayah pikirkan baik-baik. Jangan sampai kita menyesal nantinya”  ujar ibu pelan.

    “Menyesal ? tidak mungkin. Karena kenyataannya, kakak-kakanya juga berhasil, toh ?”

    Ketika Ayah melihat ke arah pintu, aku tak kuasa membalikkan wajahku yang terlanjur menyempil didaun pintu, sehingga ia mendelik kepadaku dengan terkejut. Mungkin ini rahasia, pikirnya. Belum sempat ayah memanggil, dalam sekejap aku sudah di markas besarku, dan langsung merebahkan diri ke peraduan.

    Apa maksudnya ini, pikirku. Benarkah aku akan disekolahkan di Bandung ? kenapa harus jauh-jauh ? 

    Bukankah di Semarang ini banyak SMA yang bagus ? aku semakin tak mengerti.
    Jarum jam sudah menunjukkan pukul Sembilan malam. Aku semakin gelisah, sedari tadi hanya bergulang-guling saja tidak bisa tidur. Tiba tiba aku teringat pada masa itu… Ya Tuhan, benarkah ini akan terjadi ?

    ***





    Do not copy this one. 

    Foto Sumber :






    0 komentar:

    Posting Komentar