• Selamat Datang !

    Premium atau Pertamax : Masalah “mental” ?



    Kali ini saya akan menceritakan sedikit pengalaman saya, mengenai pemakaian BBM. Saya sendiri pengendara baru dengan tunggangan baru pula, sebuah matic. Karena saya anak kost alias mahasiswa dari rantau, ketika pertama berkendara saya langsung mencoba mencocokkan pengeluaran bensin dengan “RAPBN” yang saya perbarui sebulan sekali. Otomatis, dengan adanya matic ini, bertambah pulalah pengeluaran yang harus saya keluarkan, sementara kiriman dari orang tua tetap segitu-gitu saja.

    Nah, saya mulai bimbang dengan pilihan untuk memenuhi kebutuhan motor ini ; pakai Premium atau Pertamax ya ? Agar tak bimbang, saya sudah berkali-kali searchingmengenai keunggulan kedua bahan bakar ini. Alhasil, Pertamax-lah pemenangnya, meskipun ada lagi yang lebih baik diatasnya yaitu Pertamax Plus. Namun, yang membuat “galau” adalah harga Pertamax yang luar biasa mahal buat ukuran dompet mahasiswa, hampir dua kali lipatnya harga premium.

    Apabila melihat kebanyakan teman-teman, mereka menggunakan premium. Namun, saya tak puas sampai disitu. Saya mengkaji lebih dalam lagi, lebih tepatnya mengenai “faktor tepat guna”. Akhirnya diketahui, matic saya yang mempunyai kompresi sekian, mestilah diberi minum Pertamax. Apabila tidak, maka dalam jangka waktu tertentu akan terjadi sesuatu yang buruk pada mesin dan komponen yang lain. Bukan hanya masalah kompresi, tapi juga kandungan timbal yang ada di dalam premium, yang larangannya ditulis besar-besar di tangki pengisian, -MOTOR INI TIDAK MENGGUNAKAN BENSIN BERBAHAN BAKAR TIMBAL-. Alamak, saya agak keki dibuatnya, apalagi ini motor baru, otomatis lagi “sayang-sayangnya” dan tidak mau dia rusak cepat apabila tetap bandel pakai Premium.

    Kesimpulannya, saya mesti memakai Pertamax ! Akhirnya, dengan berat hati saya mesti merombak ulang “RAPBN” yang sudah stagnan sejak dulu. Nah, yang tergambarkan oleh saya ketika berpikiran negatif adalah saya bakal mengalami kerugian besar. Bandingkan, dengan teman-teman yang menggunakan premium, yang sama jarak tempuhnya per liter hanya menghabiskan Rp 4.500 , sedangkan saya mesti membayar dua kali lipat ! duh bagaimana ini ?

    Namun, ketika saya kembali mengkaji lebih dalam segala bentuk kekurangan dan keunggulannya, saya akhirnya mencoba “istiqamah” menggunakan Pertamax. Mungkin anda bertanya-tanya, kenapa ? Ya, itu sebenarnya yang memperkeruh ini semua adalah masalah mental dalam diri, bukan hanya perhitungan harta semata.

    Dari sedikit yang saya tahu, pertama, sebabnya Pertamax itu berbeda dengan premium dalam hal harga karena jelas Premium itu murah karena subsidi. Dan subsidi itu ditujukan pada rakyat kecil yang membutuhkan, entah itu bagaimana pengaplikasiannya dan dilihati dari segi apa dan bagaimana sih yang dimaksud dengan “rakyat kecil” itu. Kabarnya, kemarin diberitakan bahwa APBN negara kita hampir bocor hanya karena masalah bahan bakar bersubsidi ini, karena subsidi yang diberikan tidak main-main. Nah, kenapa APBN bisa bocor gitu, karena terlalu banyak BBM yang disubsidi, linier pula dengan pengguna BBM bersubsidi tersebut. Lalu, apakah pengguna BBM bersubsidi tersebut sudah tepat sasaran atau belum ?

    merdeka.com
    Nah lho, sekarang masalahnya begini. BBM bersubsidi tersebut ditujukan untuk masyarakat kurang mampu, kan ? apabila dilihat dari saya pribadi, saya orang berkalangan mampu meski pas-pasan. Sebagai mahasiswa, untuk membeli Pertamax saja, saya mesti menyiasati pengeluaran antara makan dan mengisi bensin. Bayangkan, urusan perut dan tangkin bensin saja sudah bersaing ! tapi, saya akui saya mampu, dan setelah disiasati ternyata diproyeksikan cukup. Nah, disini yang saya maksudkan dengan masalah mental. Istilahnya, saya sendiri sebenanya takut miskin (takut ngga cukup) dengan beli Pertamax, tapi saya bukanlah orang “bermental miskin”. Apa maksudnya ? Ya, yang sebenarnya cukup, lho kok masih membeli BBM bersubsidi . Jadi, yang membuat miskin itu harta apa mental ? justru, saya lebih takut bila “miskin mental”, yang karenanya saya menjadi mengambil hak yang sebenarnya dimiliki orang lain.

    Sebenarnya, saya tersendir juga apabila melihat iklan di tv yang menyindir orang mampu yang masih menggunakan BBM bersubsidi. Alhasil, apakah saya juga termasuk orang “mental miskin” ? saya tidak ingin itu terjadi. Begitu juga dengan semestinya pejabat dan pegawai negeri yang jelas-jelas harkat martabatnya dipampang dan dipertaruhkan di spanduk-spanduk besar di beberapa POM Bensin, “Terima Kasih bagi Pegawai Negeri yang menggunakan BBM non-subsidi” begitulah kiranya bunyinya. Ah, ini sekedar cerita saja, ketika tadi saya mengisi bensin di POM Bensin Setiabudhi Bandung, ada oknum polisi berseragam lengkap plus motor dinasnya ngantri di belakang saya, dan saya terkejut ketika beliau itu menggunakan premium ! duh Gusti, saya mesti bilang apa.

    Hal kedua, adalah saya tidak mau zalim pada motor saya. Maksudnya ? ya iyalah, wong sudah jelas-jelas terpampang perhitungan ini-itu nya dengan jelas, bahwa ini untuk ini, apabila tidak, akan terjadi begini. Kalau saya masih ngeyel, ya mungkin kerugiannya tidak nampak sekarang, tapi nanti bakal bertumpuk dan jadi berat. Waduh, ribet deh urusannya kalau udah masalah mesin dan lain-lain, yang nantinya akan membuat pengeluaran jadi jebol karena kerusakan permanen. Apalagi matic, kalau salah kasi minum bisa-bisa mesinnya “ngelitik”, tarikan tidak mantap dan ujung-ujungnya rusak permanen.

    Yah, sebenarnya dengan tulisan saya ini, bukan untuk “menyemprot” para pengguna Premium, yang mungkin juga anda sendiri. Tentu, masalah sebesar ini ini tidaklah tepat jika dilakukan penilaian secara pribadi, melainkan secara umum. Misalnya, ada pernyataan, “saya uangnya memang segini, ya cuma bisa beli premium” ,ya silahkan, saya tidak bisa berkata apa-apa karena itu bersifat personal. Dan bisa saja dalam suatu waktu, saya sendiri nanti bisa menggunakan premium karena uang makan tak cukup, misalnya.

    Namun, tujuan tulisan ini adalah ingin “menepuk pundak” wahai anda yang sebenarnya mampu. Saya sendiri mengakui saya mampu, dan saya mau berkorban untuk itu. Saya pribadi tidak mau “bermental miskin” eh ternyata nanti jadi miskin beneran, naudzubillah. Juga semestinya bagi kita yang mampu, kita tahu bahwa subsidi itu ditujukan buat siapa. Yah, kalau tidak dimulai dari diri sendiri, mau sampai kapan akan begini terus ? mungkin kita tidak tahu kemana larinya uang hasil pengorbanan kita untuk membeli BBM non-subsidi, tapi yakinlah Tuhan mencatat, dan yakinkan bahwa kita termasuk orang “bermental mampu”. Insya Allah, kita akan jadi orang yang mampu beneran, siapa tahu kan ? yang penting, mental kita sudah menang.

    Dan kenapa mesti membeli yang seperti itu, toh untuk kesehatan kendaraan kita juga. Dengan keuntungan yang ada padanya, secara tidak langsung kita membiayai anak yang tidak mampu sekolah, berusaha menjadi warganegara yang baik dengan membendung APBN agar tidak jebol, sekaligus kita menjaga lingkungan karena polusi tidak seberapa yang dihasilkan, mantap kan ?

    Memang sih, pengeluaran jadi membengkak. Solusinya, ya kurangi berkendara. Lebih memprioritaskan suatu perjalanan, hingga mana yang paling penting didahulukan. Jika tidak dalam prioritas, ya jalan kaki saja atau naik kendaraan umum, beres kan ? yang untung siapa, ya kita semua dong, lingkungan jadi lebih bersih pula. Yah, semuanya ada resiko memang.

    Nah, akhir kata, apabila ada kesalahan perkataan yang membuat anda tersinggung, saya memohon maaf sebesar-besarnya dan mohon koreksinya, Insya Allah demi kebaikan kita juga.

    Sebenarnya bukan masalah Premium atau Pertamax-nya, tapi mental yang ada dalam diri ini.


    Foto sumber : disini 

    Jejak tulisan asli : dari sini


    0 komentar:

    Posting Komentar