• Selamat Datang !

    Ilmu, Bambu, dan Guruku



    Bismillahirrahmanirrahiim.

    Kala itu sore hari. aku sedang beraktivitas sekedar membereskan kamar. Setelah mengemas beberapa barang, aku pun memulai membongkar buku-buku bekas yang menumpuk di pojok kamar. Ya, beberapa buku paket dan buku tulis yang sudah usang, hasil berjerih payah semasa SMA. Sambil tersenyum sejenak, tak sadar, bahwa sudah tiga tahun sudah terlewati. Dan kini, aku harus siap menatap masa baru sebagai seorang mahasiswa.

    Sejenak sambil iseng memilah buku, aku menemukan sebuah buku agenda berwarna coklat yang sudah usang. Bentuknya seperti dompet wanita bergaya 90-an. Isinya tak penuh terisi, yang pada halaman depannya tertulis hasil catatan rapat OSIS tahun 2010 lalu. Hmm, aku pun tersenyum lagi. Jejak-jejakku sebagai aktivis ternyata belum hilang.

    Masih menyimpan penasaran pada halaman berikutnya, akhirnya aku menemukan sebuah catatan pendek. Sederhana saja, berupa beberapa kalimat dan mempunyai gambar kecil. Seketika menekurinya, seakan akan waktu ini bisa berputar, kembali mengulang masa lalu ...

    ***

    Kala itu, ya, masa yang bisa dikatakan paling kacau balau dalam hidupku. Bagaimana tidak, dengan emblem dan logo sekolah yang menempel di seragam putih abu itu, benar benar dapat dikatakan inilah masa penunjukan “eksistensi” seorang pemuda. Segalanya yang benar atau tidak, masih terlalu samar untuk dilihatkan dan masih terlalu “dalam” untuk dipikirkan.

    Gila. Tapi khas remaja. Bisa dibilang seperti itu. Segala kebiasaan aneh macam duduk berleseh di depan pintu kelas sambil menunggu guru, mendengarkan musik lewat headset, menggosip ngalor-ngidul, tidur tiduran, kadang ada juga yang main gapleh, hahaha ... semakin menambah kentaranya warna abu-abu masa remajaku.

    Hari itu ada pelajaran kewarganegaraan. Pelajaran yang asyik sebenarnya, tapi jika dibawakan dengan cara yang salah, maka pelajaran ini bisa bikin ngantuk.. hufft siang itu benar-benar panas, dan mood negatif mulai menguap di dalam kelas. Guruku pun datang, dengan proyektor sederhana dan kabel terminal yang menggumpal di tas jinjingnya.

    Seperti biasa, aku bagian piket untuk mencolok-colok kabel tersebut, dan taraaaa .... lensa proyektor pun akhirnya mengedip-ngedip silau menghadap white-board. Ini biasa di kelas kami yang setiap siang selalu dimasuki sinar matahari. Lagi-lagi, slide yang ditampilkannya sederhana sekali, dengan tampilan default dan pilihan huruf yang sama sekali tidak menarik, wah, dalam pikiranku, kali ini benar-benar bisa membuat rasa kantuk semakin merajalela.

    Mulailah beliau dengan sedikit prolog dan anekdot yang cukup membuat segar kepala. Lima menit berikutnya, ia akhirnya mulai berbicara panjang. Bukan kawan, kali ini bukan masalah materi kewarganegaraan. Inilah cirinya yang unik, ia selalu berbicara apapun yang ia tahu. Dari sisi positifnya, kami jadi tahu banyak hal mengenai apapun yang ia tahu, secara ia seseorang bergelar doktor yang wawasannya luas sekali... dari sisi negatifnya, saking luasnya wawasan yang ia sampaikan, kebanyakan dari kami tidak bisa menanggapinya, bahkan yang mengerti pun hanya bisa mengangguk. Yang tidak ? hmm, tau sendiri ...

    Kebetulan waktu itu aku tidak terserang mood negatif yang meracuni seisi kelas. Aku mendengarkan saja apa yang beliau biacarakan, meski aku pun sesekali menatap slide dan mencocokkan dengan apa yang beliau ini bicarakan. Sama sekali tidak ada yang cocok.

    Sejujurnya, aku menyimak tidak dengan sepenuh hati. tapi, kali ini apa yang dibicarakannya menarik. Lebih jauh kusimak, pembicaraan ini mengenai filosofi ilmu, yang dianalogikan dari sebuah bambu... aku tertarik, dan kusimak dengan baik ...

    ***

    Kutatap langit yang mulai merona jingga. Sejauh penglihatanku, hanya kosong tak berbatas, dihalangi oleh semburat tipis awan-awan bergumpalan. Aku merenung, sambil mememgang agendaku. Aku tersenyum, ketika kuingat lagi masa itu,

    “jadi sebenarnya, dengan ilmu, sesuatu yang biasa itu dapat diubah menjadi luar biasa. Contohnya, dari sepotong bambu, oleh ilmu yang dimiliki masing-masing orang, dapat menjelma menjadi beraneka ragam hal yang sangat berbeda bentuk dan fungsinya ...”

    Sayup-sayup terdengar dalam ingatan ...

    “jika bambu itu diberikan kepada pengangguran, maka mungkin bambu itu tidak akan berarti apa-apa, langsung dibuang... tapi berbeda jika bambu itu diberikan kepada seniman, maka ia akan menjadi mahakarya, dan menjadi sangat mahal harganya ...”

    Analogi yang indah. Aku dapat memahaminya.  Hmmm.

    Kubaca lagi agendaku, masih ada lanjutannya... dan sisanya tentu yang kubuat sendiri,

    Jadi, kalau bambu itu diberikan kepada :

    Seorang bayi, tidak akan berarti apa apa, mungkin ia hanya akan menangis
    Seorang anak kecil, mungkin hanya akan menjadi kerangka layang-layang
    Seorang pedagang, mungkin akan jadi tiang penyangga lapaknya
    Seorang pejuang, mungkin itu akan jadi senjata mematikan
    Seorang perajin, mingkin itu akan jadi kursi atau anyaman lain
    Seorang arsitek, mungkin itu akan jadi tiang rancangan sementara sebuah bangunan
    Seorang bapak pengangguran, mungkin itu hanya jadi tiang jemuran sederhana
    Seorang ibu rumah tangga, mungkin hanya untuk peniup suluh untuk memasak
    Seorang kepala kampung, mungkin ia akan menyuruh membuat jembatan bambu di desanya
    Seorang ahli kung-fu, mungkin itu akan menjadi senjata pamungkasnya
    Seorang suku sunda, mungkin dari sini cikal bakal permainan egrang
    Seorang ahli obat, mungkin itu akan menjadi obat herbal yang manjur
    Seorang dukun, mungkin ia akan mengatakan itulah rumah dari jin dan setan
    Seorang suporter bola, mungkin itu untuk mengibarkan bendera klubnya
    Seorang ahli lembing, mungkin ia akan sampai di London untuk ikut olimpiade
    Seorang satpam, mungkin itu akan menjadi portal sebuah komplek
    Seorang Mang udjo, uuuh udah pasti, terkenal deh di mancanegara

    Dan masih banyak orang lain lagi, sesuai dengan ilmu yang ia miliki, bahkan sepotong bambu-pun dapat menjelma menjadi berbagai rupa. Aku tersenyum, dan kembali menatap langit...


    Note :
    Terima kasih guruku... Maaf apabila kami banyak menyakitimu. Sungguh, ilmu ini bermanfaat ketika kami dewasa, dan kami baru menyadari bahwa begitu pentingnya dirimu, ketika kami sudah jauh meninggalkan masa itu ... semoga muridmu ini dapat sukses seperti yang kau inginkan dalam citamu.

    Selamat menunaikan ibadah shaum :)



    Foto sumber :




    0 komentar:

    Posting Komentar